Sebelum kita
mempelajari pembagian dan tingkatan hadis, ada baiknya jika kita terlebih
dahulu megetahui pengertian dari hadits itu sendiri. berikut ini akan diuraikan
beberapa pengertian hadits:
A.
Pengertian
hadits.
Kata hadits
atau al-hadits menurut bahasa berarti لأشياءالجديدم (sesuatu yang baru), lawan kata dari القديم (sesuatu
yang lama). Disamping itu kata ini juga mengandung arti dekat, yang belum lama
terjadi dan juga berarti berita (الخبر)
yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang
lain. Bentuk jamaknya ialah الأحاديث.[4]
Secara
terminologi, para ahli memberikan defenisi yang berbeda-beda sesuai dengan
latar belakang ilmu dan tujuan masing-masing. Pengertian ulama ushul berbeda dengan
yang dimaksud oleh ulama hadis dan ulama fikih. Akan tetapi di sini hanya
dijelaskan menurut ulama ushuliyyun, yaitu, segala sesuatu yang bersumber dari
nabi saw. baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya yang berhubungan
dengan ketentuan-ketentuan Allah yang disyariatkan kepada manusia.
B.
Pembagian Hadits
Pembagian
hadits adalah suatu kegiatan yang bertujuan memisahkan atau mengklasifikasikan
suatu hadits dengan hadits lain berdasarkan sanad, matan, dan rawi. Pembagian
hadits secara garis besar terdiri dari segi kuantitas dan kualitas hadits,
1.
Jika ditinjau dari segi kuantitas, hadis
terbagi dua (2) :
1)
Hadis Mutawatir, &
2)
Hadis Ahad.
1)
Hadits Mutawatir,
a.
Pengertian.
Kata mutawatir, secara bahasa, merupakan
isim fa’il dari kata al-tawatur
yang bermakna al-tatabu’ atau (berturut-turut)[5]
atau datangnya sesuatu secara berturut-turut dan bergantian tanpa ada yang
menyela.[6]
Dalam bahasa arab dikatakan: تواترالمطر maksudnya hujan turun terus-menerus. Dalam
hal ini mutawatir mengandung pengertian sesuatu yang bersifat kontinyu
baik secara berturut-turut maupun secara terus-menerus tanpa adanya hal yang
menyela yang menghalangi kontinuitas itu. Pengertian etimologis ini bila
dikaitkan dengan hadis menunjukkan bahwa pada hadis mutawatir, antara
periwayat yang satu dengan periwayat yang lain pada generasi sebelum maupun
sesudahnya terjadi hubungan yang berturut-turut, runtun sehingga tidak
terputus-putus dikarenakan jumlah pada masing-masing generasi cukup banyak.
Secara istilah, menurut Mahmud al-Tahhan, defenisi
hadis mutawatir adalah:
ما رواه عدد كثيرتحيل العادة تواطؤهم علي الكذب
“Hadis yang
diriwayatkan oleh banyak periwayat yang
menurut adat kebiasaan mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk
berdusta.[7]
Maksud defenisi
tersebut, menurutnya, adalah hadits atau khabar yang diriwayatkan oleh para
periwayat yang banyak pada tiap thabaqah (tingkatan/generasi) yang
menurut akal dan adat kebiasaan mustahil para periwayat itu sepakat untuk
membuat hadits yang bersangkutan.[8]
Berdasarkan defenisi diatas dapat disimpulkan
bahwa hadits mutawatir itu merupakan hadits shahih yang diriwayatkan oleh
sejumlah periwayat yang menurut logika dan adat istiadat mustahil mereka sepakat
untuk berdusta. Hadits ini diriwayatkan banyak orang periwayat pada awal,
tengah, sampai akhir sanad dengan jumlah tertentu. Sandaran beritanya
berdasarkan sesuatu yang dapat diindra seperti disaksikan, didengar, diraba,
dicium, ataupun dirasa.
b.
Syarat-syarat dan Hadits Mutawatir.
Dari beberapa
definisi di atas diketahui syarat atau kriteria-kriteria hadits Mutawatir yaitu:
Ø Diriwayatkan
oleh periwayat yang banyak; (5, 7, 10, 12, 40, sd. 70-300 perawi, ulama
berbeda pendapat).
Ø Mustahil
secara logika atau adat mereka sepakat berdusta; (logika dan
adat istiadat dijadikan ukuran adalah pemkiran rasional dan adat istiadat yang
bersifat umum yang berlaku di berbagai tempat buakan pada tempat tertentu saja.
Dengan demikian, maka ukuran berapa pun jumlah periwayatnya—asalkan dalam
kategori banyak—dapat dipastikan hadits tersebut mutawatir. Sebaliknya,
jika keyakinan pasti belum tercapai, berapa pun banyak periwayatnya, maka tidak
dapat di kategorikan ke dalam kelompok hadits ini.
Ø Jumlah banyak itu terjadi pada
setiap lapisan sanad dari awal sampai akhir; (mengenai
syarat ini ada dua kemungkinan, Pertama, ukuran kesamaan atau
keseimbangan adalah jumlah periwayat pada masing-masing generasi berada pada
kisaran yang sama tidak terlalu jauh jumlahnya.[9] Misalnya, dari kalangan sahabat 10 orang, tabi’in 9 orang, atba’
al-tabi’in 10, dan seterusnya. Kedua, ukuran kesamaan atau
keseimbangan adalah pada jumlah minimmal yang harus dipenuhi. Misalnya, jika
suatu hadits diriwayatkan oleh sepuluh orang sahabat kemudian diterima oleh dua
puluh orang tabi’in, dan selanjutnya diriwayatkan oleh lima atau empat orang
orang atba’ al-tabi’in dan seterusnya dengan tidak kurang dari jumlah itu, maka
dapat disebut dengan hadits mutawatir.
Ø Sandaran
berdasar panca indra. (seperti sesuatu yang dilihat, diraba,
didengar, dirsakan, atau dicium. Karenanya, tidak disebut hadis mutawatir jika
sandaran logikanya hanya bersandarkan logika semata seperti berita mengenai
adanya Tuhan pencipta alam, kebaruan alam semesta, dsb.[10]
Dengan kata lain, suatu hadis dapat dikatakan mutawatir antara lain apabila
beriat dalam hadits itu bersifat empiris seperti hasil pendengaran,
penglihatan, penciuman, dan sentuhan,[11]
bukan hasil kontemplasi pemikiran atau konklusi dari suatu peristiwa atau
istinbath dari suatu dalil.
Hadits-hadits
jenis ini dapat diketahui dalam buku-buku yang secara khusus menghimpun
hadis-hadis mutawatir, seperti:
a. Al-Azhar
al-Mutanatsirah fi al-Akbar al-Mutawatirah, karya Imam al-Suyuthi yang
disusun berdasar bab-bab tertentu.
b. Qathf al-Azhar, ringkasan dari kitab
diatas juga karya al-Suyuthi.
c. Nazm
al-Mutanatsir min al-hadts al-Mutawatir, oleh Muhammad ibn Ja’far
al-Kattani.[12]
c.
Pembagian Hadits Mutawatir.
Hadis mutawatir
terbagi tiga, yaitu:
1.
Mutawatir Lafdzi;
2.
Mutawatir Ma’nawi.
3.
Mutawatir ‘Amali
(1). Mutawatir
Lafdzi adalah hadis yang mutawatir baik lafadz mauoun maknanya, atau ما تواتر روايته
علي لفظ واحد[13] . Menurut Muhammad al-Shabbagh, hadits mutawatir
Lafdzi adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak periwayat sejak awal
sampai akhir sanadnya dengan memakai redaksi yang sama. Contoh hadits mutawatir
lafdzi:
مَنْ كَذَبَ
عَلَيّ مُتَعَمِدً فليتبوأ مقعده من النار..
“Barang
siapa berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di
neraka”
Hadis ini diriwayatkan oleh tujuh puluh sahabat
Nabi, demikian seterusnya pada setiap thabaqah sanadnya diriwayatkan oleh
banyak periwayat.[14]
(2). Mutawatir Ma’nawi adalah hadits
yang mutawatir maknanya saja bukan lafalnya ما تواتر معناه دون لفظه.
Hadis mutawatir kategori ini disepakati penukilannya secara makna tetapi
redaksinya berbeda-beda. Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib mendefinisikan hadits Mutawatir
Ma’nawi sebagai “Hadits yang periwatannya disepakati maknanya, akan
tetapi lafalnya tidak”.[15]
Contoh hadits Mutawatir Ma’nawi adalah
hadits-hadits tentang mengangkat tangan ketika berdoa yang diriwayatkan oleh
Nabi saw. lebih dari seraatus hadits, meskipun redaksi hadits berlainan tapi
isinya sama.[16]
(3). Mutawatir
‘Amali adalah sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa dia termasuk
urusan agama dan telah mutawatir antara dikalangan umat Islam, bahwa Nabi saw.
mengajarkan, menyuruhnya, atau selain dari itu.[17]
B.
Hadits Ahad.
a. Pengertian
Kata ahad (الآحاد)
jamak dari (احد) yang berarti satu (الواحد) . Dengan demikian hadis ahad
secara bahasa adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang[18].
Adapun menurut
terminologi ulama hadis, hadis ahad adalah:
ما لم يجمع شروط المطواتر.
“Hadits yang
tidak memenuhi salah satu dari syarat-syarat hadis Mutawatir”.[19]
Menurut
Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, hadis Ahad adalah hadits yang sanadnya shahih dan
bersambung hingga sampai kepada sumbernya (Nabi) tetapi memberikan pengertian Zhanni dan tidak sampai
pada qath’i atau yakin.[20]
Dari defenisi
di atas menunjukkkan dua hal: (1) Dari segi periwatnya, hadis ahad berada
dibawah hadits mutawatir, (2)
Dari segi isinya, hadis ahad berstatus Zhanni bukan Qath’i. Bagi
ulama yang membedakan hadis dari segi kuantitasnya menjadi tiga: Mutawatir,
Masyhur, dan Ahad, defenisi
hadis Ahad adalah:
”Hadis yang
diriwatkan oleh satu orang atau dua orang, atau lebih yang jumlahnya tidak
memenuhi persyaratan haadis masyhur atau mutawatir”.[21]
b. Pembagian
Hadits Ahad.
Menurut Mahmud
al-Thahhan, hadits Ahad dilihat dari segi jumlah sanadnya, terbagi
menjadi tiga kategori yaitu hadits Masyhur, hadits Azis, dan hadits
Gharib.[22]
(1)
Hadits masyhur,
Secara bahasa
merupakan ism maf’ul dari kata syahara,
yang berarti sesuatu yang terkenal,
yang dikenal, populer, di kalangan manusia.
Menurut terminolgi ulama hadits,sebagaimana
dikemukakan oleh Muhammad Tahhan dan Ibn Hajar al-Asqalany, hadits Masyhur adalah:
ما رواه ثلاثة فكثروا في كل طبقة ما لم يبلغ
حدالتواتر
“Hadits
yang diriwayatkan oleh tiga periwayat atau lebih pada tiap thabaqah-nya tetapi
tidak sampai pada peringkat mutawatir”.[23]
Contoh hadits masyhur adalah hadis berikut:
ان الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من العبا د
(2)
Hadits ‘Azis
Secara bahasa
berarti sedikit atau jarang dan kata: ‘azza ya ‘uzzu yang berarti kuat dan
sangat. Disebut demikian karena hadits kategori ini sedikit adanya dan jarang,
atau karena kuat dengan adanya sanad yang datang dari jalur lain[24].
Menurut
istilah, hadits Azis adalah:
لايقل رواته عن اثنين في جميع طبقات السند.
“Hadits yang pada semua tabaqah sanadnya tidak kurang dari dua
orang periwayat”
Contoh hadits ‘azis:
عن ابي هريرة ان رسول الله صلي الله عليه و سلم
قال :" لاىؤمن احدكم حتي أكون أحب إليه من والده وولده والناس
اجمعين"(رواه البخلري و مسلم).
“Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah SAW. bersabda: Tidaklah
beriman salah seorang di antara kalian hingga aku lebih dicintainya daripada
ayahnya, anaknya, dan seluruh manusia” (H.R. Bukhari Muslim).
(3)
Hadits Gharib.
Secara bahasa
berarti menyendiri ( (المنفرد atau
jauh dari kerabatnya (البعيد عن أقاربه) [25] .
Secara istilah,
ulama hadis mendefenisikan:
الحديث الذي انفرد به راو واحد وإن تعددت الطرق
إليه
“Hadis yang diriwatkan
secara sendirian oleh seorang periwayat, meskipun banyak jalur sanad padanya”.[26]
Mahmud
al-Thahhan membagi hadis gharib menjadi dua, yaitu;
(1) gharib mutlak: hadis yang
diriwayatkan secara sendirian pada thabaqah shahabat. Contoh hadis gharib
mutlak:
إنما الأعمال با لنيات وإنما لكل امرئ ما نوى
“Sesungguhnya
amal perbuatan itu tergantung pada niat, dan ganjaran seseorang tergantung pada
apa yang diniatkan”.(H.R. Bukhari dan Muslim)
& (2) gharib nisbi: hadis yang
diriwayatkan secara sendirian di tengah-tengah sanad meskipun diriwayatkan oleh
banyak periwayat pada thabaqah shahabat.[27]
Contoh hadis gharib nisbi:
أن النبي صلي الله عليه و سلم دخل مكة وعلي رأسه
المغفرة] نفرد به مالك عن الزهري
“Bahwasanya Nabi saw.
memasuki Makkah dan diatas kepalanya terdapat penghapus”(H.R. Bukhari
Muslim). Hadis ini diriwayatkan secara sendirian oleh Malik dari al-Zuhri.
2.
Jika ditinjau dari segi kualitas, hadis terbagi
dua, yaitu:
1)
Hadits Maqbul
2)
Hadits Mardud
a.
Hadits Maqbul
a). Pengertian.
Maqbul menurut bahasa
yaitu, ma’khudz (yang diambil) dan mushaddaq (yang dibenarkan
atau diterima).
Secara istilah
yaitu: ما توافرت جميع شروط القبول (hadis yang memenuhi semua persyaratan penerimaan).
Syarat-syarat penerimaan hadits—sebagaimana nanti diuraiakan—yaitu sanadnya
bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabith, tidak
mengandung syadz serta tidak ber-illat. Hadis ini terbagi dua yaitu:
(1). Hadits Shahih, & (2). Hadits Hasan.
(1). Hadits Shahih,
Shahih secara bahasa berarti sehat, selamat, benar, sah dan sempurna.
Maka hadits shahih secara bahasa adalah hadits yang sehat, selamat,
benar, sempurna, sah dan tidak sakit. Secara terminologis, hadits yang sanadnya
bersambung kepada Rasulullah saw. atau pada sanad terakhir, berasal dari
kalangan shahabat tanpa mengandung Saydz, ataupun illat. Ibn
Hajar al-Asqalany dalam Nuzhah al-Nazhar Syarh Nukhbah al-Fikar,
lebih ringkas mendefenisikan hadis shahih, yaitu:
خيرالآحاد بنقل عدل تام الضبط, متصل السند, غير
معلل ولا شاذ
“Hadits yang
diriwayatkanoleh orang yang ‘adil, sempurna ke-dhabith-annya,bersambung
sanadnya tidak ber-illat dan tidak ber-syadz”.
(2). Hadits hasan,
secara bahasa berarti sesuatu yang diinginkan dan menjadi kecenderungan hawa
nafsu. Ibn Hajar al-Asqalany mendefenisikan hadits hasan kemudian pendapanya
ini banyak diikuti oleh ulama hadits yaitu:
الحديث الذي اتصل سنده بنقل عدل خف ضبطه ولم يكن
شاذا ولا معضلا
“Hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang
‘adil,kurang kuat hafalannya, tidak mengandung ‘illat dan sydz”.[28]
Dengan
demikian hadits hasan, pada dasarnya sama dengan hadist shahih yaitu hadits
yang memenuhi syarat-syarat, (1). Sanadnya bersambung, (2). Diriwayatkan oleh
periwayat yang adil, (3). Dhabhith, (4). Tidak mengandung Syadz,
dan (5). Tidak pula mengandung illat. Hanya saja, pada hadits hasan,
diantara periwayatnya ada yang kurang Dhabith, sedangkan pada hadits
shahih, seluruh periwatannya dhabith.
b). Kriteria Hadits Shahih dan Hadits Hasan.
i)
Sanad Tersambung, tiap-tiap periwayat dalam
sanad hadis menerima riwayat hadis dari periwayat terdekat sebelumnya; keadaan
ini berlangsung demikian sampai akhir sanad hadis itu.[29]
Berkaitan pula
dengan ketersambungan sanad ini, dikenal pula istilah hadis mutthashil, atau
mawshul. Menurut Ibn al-Shalah dan an-Nawawi, hadits mutthashil, atau
mawshul adalah hadits yang bersambung sanadnya, baik persambungan itu
sampai pada Nabi maupun hanya sampai kepada shahabat Nabi saja.[30]
M. Syuhudi Ismail menyimpulkan bahwa hadits mutthashil, atau mawshul,
ada yang marfu’(disandarkan pada Nabi), ada yang mauquf (disandarkan
pada Shahabat), dan ada pula yang maqthu’ (disandarkan pada tabi’in).
Jika dibandingkan dengan hadits Musnad, maka dapat dinyatakan bahwa
hadits musnad pasti mutthashil, atau mawshul, tetapi tidak
semua hadits mutthashil, atau mawshul, pasti hadits musnad.[31]
ii)
Periwayat bersifat ‘Adil. Berdasarkan
pernyataan para ulama, diketahui berbagai kriteria periwayat hadits dikatakan ‘adil.
secara akumulatif, kriteria itu adalah: (1). Beragama Islam, (2). Baligh,
(3). Berakal, (4). Takwa, (5). Memelihara muru’ah, (6). Teguh dalam
beragama, (7). Tidak berbuat dosa besar, (8). Tidak berbuat maksiat. (9). Tidak
berbuat bid’ah. Dan (10). Tidak berbuat fasik.
iii)
Periwayat Hadits Bersifat Dhabith.
Secara bahasa, Dhabith
berarti yang kuat, kokoh, yang hafal dengan sempurna. Ibn Hajar
al-Asqalani, menyatakan bahwa seseorang yang disebut dabith adalah
oarangyang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengar, dan mampu
menyampaikan hafannya itu kapan saja dia menghendaki.[32]
Cara mengetahui
ke-dhabith-ian periwayat hadits menurut berbagai pendapat ulama
adalah:
(1). Ke-dhabith-an
periwayat dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama.
(2). Ke-dhabith-an
periwayat dapat diketahui berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang
disampaikan oleh periwayat yamg lain yang telah dikenal ke-dhabith-annya,
baik kesesuaiannya itu sampai tingkat makna, maupun sampai tingkat harfiah.
(3). Periwayat
yang sesekali melakukan kekeliruan, tetap dinyatakan dabith, asalkan
kesalahn itu tidak sering terjadi.
iv)
Terhindar dari Syadz ( kejanggalan).
Secara bahasa,
syadz merupakan ism fa’il n dari syadzdza yang berarti menyendiri (infarada).
Menurut istilah ulama, hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh
periwayat yang tsiqah tetapi bertentangan dengan riwayat lain yang lebih
tsiqah.[33]
Jadi, bagi
al-Syafi’i, suatu hadits dinyatakan mengandung Syadz, apabila: (1).
Hadis itu memiliki kebih dari satu sanad; (2). Para periwayat hadits itu
seluruhnya tsiqah;(3). Matan atau sanad hadis mengandung pertentangan.
iv) Terhindar
dari ‘illat.
‘Illat, jamaknya ilal,
secara bahasa berarti cacat, kesalahn baca, penyakit dan keburukan. Menurut
istilah ilmu hadits, illat berarti sebab yang tersembunyi yang dapat
merusak kesahihan hadits.[34]
Menurut Mahmud al-Tahhan, suatu hadits dinyatakan ber-illat,
apabila mengandung kriteria berikut: (1). Periwayatnya menyendiri., (2).
Periwayat lain bertentangan dengannya., (3). Qarinah-qarinah lain yang
terkait dengan dua uansur diatas.[35]
Dengan demikian, cara untuk mengetahui adanya illat hadits
adalah sbb: (1). Menghimpun seluruh sanad hadits, dimaksudkan untuk mengetahui
ada tidaknya tawabi’ dan atau syahid; (2). Melihat perbedaan
antara periwayatnya; (3). Memperhatiakan status kualitas para periwayat baik
berkenaan dengan keadilan, maupun ke-dhabith-an masing-masing periwayat.
c)
Macam-macam
Hadits Shahih dan Hadits Hasan.
(1)
Hadits
Shahih : (1). Shahih li dzatih, yaitu hadits yang memenuhi
kriteria-kriteria hadits shahih yang lima sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Hadits shahih kategori ini telah dihimpun oleh para mudawwin hadits
seperti al-Bukhari dalam kitabnya Shahih Bukhary, Muslim al-Hallaj dalam Shahih Muslim,
Abu Dawud dalam Sunan Abi Dawud,
Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad Ahmad, dsb. (2). Shahih li ghayrih adalah
hadits yang kesihihannya dibantu oleh adanya hadits lain. Pada mulanya hadits
ini memiliki kelemahan berupa periwayat
yang kurang dhabith, sehingga dinilai tidak memenuhi syarat untuk
dikategorikan dalam hadits sahih.[36]
Tetapi setelah diketahui ada hadits lain dengan kandungan matan yang sama dan
berkualitas shahih, maka hadits tersebut naik derajatnya menjadi shahih.
(2)
Hadits
Hasan : (1). Hasan li dzatih: yaitu hadits yang memenuhi kriteria hadits
hasan yang lima, yaitu, 1. Sanadnya bersambung; 2. Periwayatnya ‘adil;
3. Periwayatnya kurang dhabith; 4. Terlepas dari syadz; dan 5.
Terlepas dari illat. Menurut Ibn al-Shalah, sebagaimana dikutip
al-Qasimi dan al-Sakhawi, pada hadits hasan li dzatih para periwayat
terkenal kebeikannya, tetapi daya ingatan dan kekuatan hafalan mereka belum
sampai pada derajat hafaln para periwayat shahih.[37]
Hadits hasan li dzatih ini bisa naik derajat menjadi hadits shahih li
ghayrih, apabila ditemukannya adanya haidts lain yang menguatkan kandungan
matannya atau adanya sanad lain yang juga meriwayatkan matan yang sama,
seabagai tabi’i atau syahid. (2). Hasan li ghayrih adalah
hadits yang berkualitas hasan karena adanya hadits lain yang mengangkatnya.
Pada asalnya hadits tersebut berkualitas dha’if, tetapi karena adanya sanad
lain yang shahih yang meriwayatkan matan yang sama, maka kualitas hadits
daif tersebut terangkat menjadi hadits hasan li ghayrih. Menurut Ibn
al-Shalah, sebagaimana dikutip oleh al-Sakhawi dan al-Syuyuthi, hadits hasan li
ghayrih adalah hadits hasan yang sanadnya ada seoarang yang belum ma’tsur
(belum diketahui), bukan pelupa banyak kesalahan, tidak terlihat adanya
sebab-sebab yang menjadikannya fasik, dan matan haditsnya diketahui baik
berdasar hadits lain yang semakna.[38]
b.
Hadits
Mardud.
Secara
bahasa berarti hadits yang tertolak atau yang tidak diterima. Sedangkan menurut
istilah yaitu:
فقد تلك الشروط أبعضها
(hadits yang
tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarat hadis maqbul). Tidak terpenuhinya persyatam dimaksud bisa
terjadi pada sanad atau matan,atau pada keduanya sekaligus. Para ulama
mengelompokkan hadis jenis ini menjadi dua yaitu hadits dha’if dan
hadits maudhu’.
(1)
Hadits
Dha’if.
a)
Pengertian Hadits Dha’if.
Kata
dha’if menurut bahasa berarti “lemah”, sebagai lawan dari qawi (yang kuat).
Sebagai lawan kata dari shahih, kata dha’if juga berarti saqim (orang yang
sakit). Maka sebutan hadits dhaif secara bahasa berarti hadits yang lemah, yang
sakit, dan yang tidak kuat.
Secara
terminologis, para ulama mendefenisikannya dengan redaksi yang beragam,
meskipun maksud dan kandungannya sama. Imam al-Nawawi seperti dikutip Jamaluddi
al-Qasimi mendefenisikan hadits dha’if dengan:
الضيف ما لم
يوجد فيه شروط الصحة ولا شروط الحسن
“hadits yang
didalmnya tidak terdapat syarat-syaratb hadits shahih dan syarat-syarat hadits
hasan”.[39]
Pada defenisi terlihat bahwa, kriteria-kriteia hadits dha’if adalah
tidak memenuhi salah satu dari kriteria hadits shahih dan hadits hasan,
sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
b)
Macam-macam Hadits Dha’if.
1. Hadits Dhaif Karena
Sanadnya Terputus.
Terputusnya atau gugurnya suatu sanad, mungkin berada diawal sanad,
mungkin dipertengahan, mungkin diakhirnya, dan mungkin seluruhnya. Ibn Hajar
al-Asqalany, membagi hadits dhaif kepada lima macam, yaitu:
a. Hadits Muallaq.
Hadits muallaq
adalah hadits yang teputus diawal sanad. Kata muallaq secara bahasa
berarti tergantung.[40]
Secara terminologis, hadis muallaq adalah hadis yang periwayatannya
diawal sanad (periwayat yang disandari oleh penghimpun hadis) gugur atau
terputus seorang atau lebih secara berurut.
Hadis mu’allaq
disebut hadis dai’f karena rangkaian sanadnya hilang atau terputus, sehingga
tidak diketahui identitas dan kualitas para periwayat yang sesungguhnya.
b. Hadits Munqathi.
Kata munqathi berasal dari bentuk verbal inqatha’a
yang berarti berhenti, kering, patah, pecah, atau putus. Secara istilah, hadis munqathi
adalah hadist yang ditengah sanadnya ada periwayatnya yang gugur seorang atau
dua orang tidak secara berurutan.
Keterputusan pada hadis munqathi’, menurut ulama hadis,
dapat terjadi pada thabaqat kedua, ketiga, atau keempat, satu orang atau
lebih tetapi tidak secara berturut-turut. Untuk mengetahui keterputusam sanad
pada hadis munqathi dapat diketahui dengan tiga cara, yaitu:
(1). Dengan jelas. Yaitu periwayat yang meriwayatkan hadis dapat
diketahui dengan pasti tidak sezaman dengan guru yang memberikan hadis
kepadanya atau ia hidup sezaman dengan gurunya, tetapi tidak mendapat izin
untuk metiwayaatkan hadisnya. Hal ini dapat dilihat dari tahun lahir atau wafat
mereka. (2). Dengan samar-samar, yaitu karena tidak ada tahun lahir atau tahun
wafat periwayat, maka keterputusan hadits munqahti, hanya diketahui oleh orang
yang ahli saja. (3). Dengan komparasi, yaitu dengan memperbandingkan hadis-hadis
dengan hadis yang lain yang senada sehingga diketahui apakah hadis itu munqati’
atau bukan.
c. Hadis Mu’an’an dan Muannan.
Kata al-mu’an’an
merupakan bentuk maf’ul dari kata ‘an’ana yang berarti periwayat
berkata, ‘an’an (dari...dari...) secara bahasa, berarti pernyataan
periwayat, si A dari si B. kata al-muannan berasal dari kata annana yang
berarti periwayat berkata: anna (bahwa) yang menunjukkan bahwa periwayat
meriwayatkan hadis dari periwayat lain dengan menggunakan metode anna.
Para ulama berbeda pendapat tentang status hadis al-mu’an’an.
Sebagian mereka menyatakan bahwa hadis kategori ini berstatus munqathi’, hingga
diketahui dengan jelas ke-mutthashil-annya. Jumhur ulama hadis, fiqh, dan
ushul, berpendapat bahwa, hadis al-mu’an’an muththashil dengan beberapa syarat,
dua syarat diantaranya disepakati, yaitu:
1). Hadis al-mu’an’an tidak mengandung tadlis.
2). Terdapat kemungkinan periwayat yang meriwayatkan secara
al-mu’an’an bertemu dengan periwayat yang hadisnya diriwayatkan secara
‘an’anah.
Adapun syarat lain yang tidak disepakati, yaitu:
(3). Al-Bukhari, Ibn al-Madini, dan beberapa ulam lain mensyaratkan
keharusan bertemu periwayat yang meriwayatkan secara al-mu’an’an dengan
periwayat hadisnya yang diriwayatkan secara ‘an’anah
(4). Abu al-Muzhaffar al-Sam’ani mengharuskan keduanya telah lama
bersahabat.
(5). Abu ‘Amr al-Dani berpendapat bahwa ia harus mengtahui hadis
yang diriwayatkannya.
Para ulama menghukumi hadis al-Mu’annan sama dengan al-mu’an’an
diatas. Dengan demikian, hadis al-mu’an’an dengan al-muannan sama-sama
berstatus munqathi jika tidak memenuhi persyaratan tersebut dan berkualitas
dhaif.
d. Hadis Mu’dal.
Kata mu’dal sendiri berasal dari kata kerja ‘adhala yang berrati
melemahkan, melemahkan menutup rapat, atau menjadikan bercacat. Kata mu’dhal
digunakan untuk jenis hadis tertentu
kerena pada hadis itu ada bagian sanadnya yang lemah, tertutup, atau cacat.
Secara terminologi menurut MuhammagAjjaj al-Khatib, hadis Mu’dhal
adalah hadis yang gugur dua orang sanadnya atau lebih secara berturut-turut.
Kriteria hadis mu’dhal adalah:
(1). Sanad yang gugur (terputus) lebih dari satu orang;
(2). Keputusan secara berturut-turut. Sebagian ulama menambahkan
kriteria,
(3). Tempat keterputusan ditengah sanad, buakb diawal atau diakhir.
Jadi hadis mu’dhal adalah hadis yang gugur dua orang periwayatnya
atau lebih secara brturut turut baik gugrnya itu antara sahabat dan tabi’in,
antara tabi’in dan tabi’ al-tabi’in, atau dua orang setelah mereka.
e. Hadis Mursal.
Kata mursal secara bahasa berarti lepas atau terceraikan dengan
cepat atau tanpa halangan. Kata ini kemudian digunakan untuk hadis tertentu
yang periwatannya melepaskannya hadis tanpa terlebih dahulu mengaitlannya kepada
sahabat yang menerima hadis itu dari Nabi.
Secara terminologis, mayoritas ulama hadis mendefenisikan hadis
mursal dengan hadis yang disandarkan langsung kepada nabi oleh seorang tabi’i,
baik tabi’i besar maupun tabi’i kecil, yanpa tetlebih dahulu disandarkan kepada
Nabi.
f. Hadis Mawquf dan Maqthu’
Hadis mawquf
adalah hadis yang disandarkan kepada sahabat nabi atau hadis yang dirwayatkan
oleh sahabat Nabi yang berupa perkataan, perbuatan, atau persetujuannay.
Dilihat dari arti bahasa, berasal dari kata waqafa-yaqifu, yang berarti
dihentikan atau diwaqafkan. Maksudnya hadis jenis ini dihentikan penyandarannya
kepada sahabat dan tidak sampai kepada Nabi.
Hadis maqthu’ berasal dar kata qata’a, memotong, lawan washala
menghungkan, secara istilah, berarti hadis yang disandarkankepada seorang
tabi’in atau sesudahnya baik perkataan maupun perbuatan.
Disebut maqthu’ karena hadis itu terpotong, yaitu sandarnnta
terpotong hanya sampai pada tabi’in.
2. Hadis Dhaif Karena Periwayatnya Tidak ‘Adil.
a. Hadis Maudhu’.
Hadis maudhu adalh hadis dusta yang dibuat-buat dan dinibatkan
kepada Rasulullah. Secara bahasa berarti, sesuatu yang digugurkan (al-masqath),
yang ditingggalkan (al-matruk), dan diada-adakan(al-muftara).
Menurut istilah, hadis maudhu adalah pernyataan yang dibuat
seseorang kemudian dinisbahkan kepada Nabi saw. hadis maudhu dicipta oleh
pendusta kemudian disandarkan kepada Rasulullah untuk memperdayai.
b. Hadis Matruk.
Hadis Matruk
adalah hadis yag diriwayatkan oleh orang yang tertuduh dusta dalam meriwayatkan
hadis. Apabila dibandingkan dengan hadis-hadis dha’if yang lain, jadi hadis ini
merupakan hadis dha’if paling rendah. Jadi sebaliknya dari hadis mudha’af.
c. Hadis Munkar.
Hadis munkar adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang
dha’if[41],
kemudian hadis itu riwayat dan isinya beertentangan dari yang diriwayatkan oleh
orang-orang yang tsiqah. Apabila hadis yang diriwayatkan oleh orang yang dhaif
itu tidak menyalahi dengan yang diriwayatkan oleh ornga yang tsiqah, mak hadis
tersebut hanya disebut sebagai hadis dhaif.
Pebedaan hadis munkar dengan hadis syadz,
adalah bahwa ahdis syadz perawinya adalah oerng yang tsiqah atau shaduq, sedang
pada hadis munkar ia diriwayatkan oleh orang yang cacat atau lemah.
Adapun persamaan kedua hadis ini berlawanan dengan riwayat lain
yang lebih tsiqah.
3. Hadis Dhaif Karena Periwayatnya
Tidak Dhabith.
a. Hadis Mudallas.
Berasal dari kata
dallasa yang secara bahasa berarti menipu atau menyembunyikan cacat, mudallas
berrati suatu hadis yang terdapat didalamnya tipuan atau cacat. Menurut
istilah, hadis mudallas adalah hadis yang diriwayatkan dengan cara yang
diperkirakan bahwa hadis itu tidak bercacat. Secara umum,jenis tadlis ada dua
macam. Yaitu :
(1). Tadlis al-isnad adalah, periwayat hadis yang menyatakan telah
menerima hadis dari periwayat tertentu yang sezaman dengannya, padahal mereka
tidak pernah bertemu atau mungkin saja mereka pernah bertemu tetapi anatara
mereka tidak pernah atau pernah diragukan pernah terjadi kegiatan penyampaian
atau periwayatan hadis.
(2). Tadlis al-Syuyukh, adalh perwayat hadis yang menyebut secara
salah identitas guru atau syekh hadis yang menyampaikan hadis kepadanya.
Keslahan penyebutan mungkin berkenaan dengan nama, gelar, famili, julukan atau
sifat atau nama negeri guru tersebut
b. Hadis Mudraj.
Secara bahasa berarti menyisipkan. Menurut istilah ilmu hadis,
mudraj adalah hadis yang bentuk sanadnya diubah atau kedalam matannya
dimasukkan sesuatu kata atau kalimat yang sebetulnya bukan bagian dari hadis
tersebut. Faktor pendorong dilakukannya banyak penyisipan dalam hadis, menurut
Mahmud al-Tahhah cukup banyak dan yang sering adalah:
1)
Karena
keinginan untuk menjelasakan hukum syara’
2)
Mengistinbatkan
hukum syara’ dari suatu hadis sebelum hadis itu selesai diriwayatkan secata
keseluruhan.
3)
Menjelasakan
lafal yang jarang (gharib) dalam hadis.
c. Hadis Maqlub.
Hadis yang
diriwayatkan dengan cara mengganti kata dengan kata lain baik pada sanad maupun
pada matannya disebut hadis maqlub. Maqlub berasal dari kata al-qalb, yang
berarti mengubah sesuatu dari keberadaannya. Jadi hadis maqlub adalah hadis
yang didalamnya periwayat menukar suatu kata dengan kalimat yang lain. Menurut
Mahmud al-Tahhah, faktor2 pendorong
terjadinya hadis maqlub adalah:
1)
Agar
suatu hadis menyendiri dan orang-orng senang meriwayatkan dan berhujjah
dengannya.
2)
Untuk
menguji kekuatan hafaln seorang ahli hadis.
3)
Karena
kesalahan dan kelalaian tanpa sengaja.
d. Hadis Mazid.
Jika sebuah hadis mendapatkan tambahan kata atau kalimat yang bukan
berasal dari hadis itu baik pada sand maupun pada matan, maka hadis itu disebut
hadis mazid. Tambahan dapat terjadi pada sanad atau matan. Tambahan pada sanad
dilakukan dengan menambah nama periwayat atau memarfu’kan hadis mawquf atau
mamawshulkan hadis mursal.
e. Hadis Mudtharib.
Secara bahasa
berasal dari al-idthirabah yang berarti kekacauan sesuatu atau kerusakan
aturannya. Menurut istilah , mudhtharib adalah hadis yang diriwayatkan dengan
cara yang berbeda-beda tetapi sama kekuatannya.
Dari defenisi dapat diketahui bahwa kriteria hadis mudhtharib,
adalah:
1). Adanya kekacauan riwayat hadis dan tidak mungkin dilakukan
kompromi antara keduanya
2). Adanya kesamaan kekuatan riwayat sehingga tidak mungkin
melakukan tarji diantara keduanya.
Sisi kedha’ifan
hadis ini terletak pada atau disebabkan oleh perbedaan hafalan dan kekuatan
ingtan diantara para periwayatnya. Jika perbedaan ini tidak ada, berarti salah
satu riwayat unggul dan itu berarti pula hadisnya bukan lagi mudhtarrib, dengan
kata lain, suatu hadis yang diriwyatkan secara berbeda dan masing-masing
mempunyai kekuatan yang sama sehingga tidak mungkin dilakukan at-tarjih atau
kompromi. Akan tetapi manakala suatu hadis yang berbeda itu berbeda pula
kekuatannya, misalnya, yang satu shahih dan yang lain dha’if, maka tidak
terjadi al-idthirab.
f. Hadis Mushahhaf.
Berasal dari
bahasa arab al-tashrif yang berarti salah dalam membaca lembaran dengan
mengubah sebagian redaksinya karena salah dalam membaca.
Al-Farisi mendefenisikan hadis ini dengan hadis yang mengalami
perubahan lafal ataupun makna baik karena perubahan karena faktor pendengaran
atau penglihatan yang terjadi pada sanad atau matan.
g. Hadis Majhul.
Kata majhul berasal dari kata jahila yang berarti bodoh, tidak
mengetahui. Menurut istilah, majhul adalah hadis yang tidak di ketahui jati
diri periwayat atau keadaannya. Dalam hal ini, periwayat tidak diketahui jati
diri dan kepribadiannya atau kepribadiannya diketahui tetapi tidak diketahui
keadilann dan kedhabitannya.
Keberadaan hadis majhul disebabkan oleh faktor-faktor penyebab baik
yang terkait dengan identitas perawi, kuantitas riwayat, atau faktor penyebutan
nama.
4. Hadis Dha’if Karena Mengandung Syadz.
Secara bahasa, syadz merupakan isim fa’il dari syadza yang berarti
sesuatu yang menyendiri (infarada) atau sesuatu yang menyendiri terpisah dari
mayoritas.
Menurut istilah syadz adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat
tsiqah dan bertentangan dengan riwayat oleh periwayat yang lebih tsiqah.
Menurut al-Syafi’i, suatu hadis dinyatakan mengandung syadz
apabila:
1). Hadis itu memiliki lebih dari
satu sanad.
2). Para periwayat hadis itu
seluruhnya tsiqah.
3). Matan atau sanad hadis itu
mangandung pertentangan.
5. Hadis Dhaif Karena Mengandung
‘Illat.
Secara bahasa
illat berarti cacat, kesalahan baca, penyakit dan keburukan. Menurut istilah
ahli hadis, ‘illat berarti sebab yang tersembunyi yang dapat merusak keshahihan
hadis.[42]
Suatu ‘illat hadis dapat terjadi pada matan dan atau sanad hadis sekaligus.
Akan tetapi, yang terbanyak ‘illat terjadi pada sanad. Masing-masing hadis,
baik illatnya terjadi pada sanad, matan, atau keduanya sekaligus disebut dengan
hadis muallal. Suatu hadis juga disebut illat apabila berupa hadits maqthu yang
diriwayatkan secara marfu’ atau hadis munqathi yang diriwayatkan secara
muttashil yang diketahui setelah dilakukan perbandingan sanad hadis dengan
sanad hadis yang lain.
(2)
Hadis
Maudhu’
Hadis maudhu secara bahasa adalah hadis palsu, atau penisbatan
sesuatu kepada Rasulullah saw. seperti inilah yang selanjutnya yang dikenal
dengan hadis palsu atau hadis maudhu’. Hadis maudhu sebenarnya tidak layak
disebut sebagai sebuah hadis, karena ia sudah jelas ia bukan sebuah hadis yang
bisa disandarkan kepada Nabi saw.
Menurut istilah yaitu:
ما نسب الي
الرسول ص.م. إختلاقا وكذبا مما لم يقله أو يفعله أو يقره.
“Hadis yang
disandarkan kepada Rasulullah saw. secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau
tidak mengatakan, berbuat ataupun menetapakan”.
1. Latar Belakang Munculnya Hadis Maudhu’
Ø Pertentangan Politik.
Ø Usaha Kaum Zindiq
Ø Fanatik Terhadap Bangsa, Suku, Negeri, Bahasa, dan Pimpinan.
Ø Pembuat Cerita dan Nasehat
Ø Membangkitkan Gairah Beribadat, Tanpa Mengerti Apa yang Dilakukan
Ø Menjilat Penguasa.
2. Kaidah Untuk Mengtahui Hadis Maudhu’
a. Dalam Sanad.
ü Atas dasar pengakuan para pembuat hadis palsu.
ü Adanya qarinah (dalil) yang menunjukkan kebohongannya.
ü Meriwayatkan hadis sendirian, sementara diri rawi dikenal sebagai
pembohong.
b. Dalam Matan.
ü Buruknya redaksi Hadis.
ü Maknanya rusak.
ü Matannya bertentangan dengan akal atau kenyataan,
ü Matannya menyebutkan janji yang sangat besar atas perbuatan yang
kecil atau sebaliknya.
ü Bertentangan dengan kenyataan sejarah yang benar-benar terjadi di
masa Rasulullah saw.
ü Hadis yang terlalu melebih-lebihkan salah satu sahabat.
BAB III Penutup
1. KESIMPULAN
v Ilmu
Hadits adalah pengetahuan mengenai kaidah-kaidah yang menghantar-kan kepada
pengetahuan tentang rawi (periwayat) dan marwi (materi yang diriwayatkan).
v Hadits
shahih sebagai hadits yang sanadnya sambung berakhir pada Rasulullah saw. Suatu
hadits dapat dikatakan shahih apabila memenuhi 5 persyaratan,yaitu :
v Semua
rawinya adil
v Semua
rawinya sempurna ingatan (dlabith)
v Sanadnya
bersambung-sambung tidak putus
v Tidak
ber’illat (cacat tersembunyi)
v Tidak janggal (syadz)
v Hadits
hasan yaitu adakalanya termasuk hadits shahih,seperti yang dikutip oleh
adz-dzahabi dari imam bukhari dan muslim.
v syarat-syarat hadits hasan dapat dirinci sebagai berikut:
v Sanadnya bersambung
v Perawinya adil
v Perawinya dhabit, tetapi kedhabitannya di
bawah kedhabitan perawi hadits hasan
v Tidak
terdapat kejanggalan
v Tidak
ada illat
v Hadits
Dla’if Menurut lughat, dla’if adalah yang lemah, lawan “qawi” yang kuat. Hadits dla’if bermacam-macam, dan kedhaifannya
bertibngkat-tingkat, tergantung dari jumlah keguguran syarat hadits shahih atau
hadits hasan, baik mengenai rawi, sanad, atau matan.
v Hadis maudhu secara bahasa adalah hadis palsu, atau penisbatan
sesuatu kepada Rasulullah saw.
2. SARAN
Saya mengharapkan agar
makalah ini dapat dibaca dan dipahami serta bermanfaat bagi pembaca. Semoga
makalah ini dapat menambah wawasan para pembaca mengenai Al-Hadits khususnya
tentang pembagian dantingkatan-tingkatan
hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Maslani,M.Ag. dan Ratu Suntiah,M.Ag.ikhisar
ulumul hadits.Bandung:SEGA
ARSY.2012
Hussein
Bahreisj.hadits shahih al-jamius shahih bukhari-muslim.Surabaya:CV KARYA
UTAMA.2010
Prof.Dr.Daniel
Junedi.M.Ag.ilmu hadis.Jakarta:ERLANGGA.2010
Dr.
Zarkasih, M.Ag., Pengantar Studi Hadis.Yogyakarta: Aswaja Presindo. 2012.
@http://berbagiilmuqu.blogspot.co.id/2013/03/tingkatan-tingkatan-hadits.html
Ibn Hajar al-Asqalani, Syarh an-Nukhbah Dimasq; Matba’ah
al-Shiban, 1993
[2]
Sanad : rangkaian perawi yang menghantarkan kepada matan
[3] Matan : isi dari sebuah hadis/ ucapan atau perkataan, perbuatan,
ketetapan serta persetujuan dari Nabi Muhammad SAW.
[4]
Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab, Juz II (Beirut: Dar Shadir,
t.th), hlm. 131; Muhammad Jamaluddin al-Qasimiy, Qawaid al-Tahdits min Funun
Musthalahah al-Hadits (Beirut: Dar al-Nafais,2006), hlm. 61.
[5] Mahmud al-Tahhan, Tasyir Musthalah al-Hadits,(Riyadh:
Maktabah al-Ma’arif, cet. 10, 2004) hlm. 19
[6]
Al-Hafizh Tsana’ Allah al-Zahidi, Tawjih al-Qari’ila al-Qawaid
wa al-Fawaid al-Ushuliyyah wa al-haditsiyyah aq al-Isnadiyyah fi Fath al-Bari
(Beirut: dar al-Fikr, tth.), hlm. 155
[9] Muhammad
al-Shabbagh, al-Hadits a—Nabawi, (Riyadh: Mansurat al-Maktab al-Islami,
1972), hlm. 165.
[11]
Muhammad
ibn ‘Alawi al-Maliki, al-Manhal al-Lathif fi al-Hadits al-Syarif,
(Madinah:tp,tth.), hlm. 100-101.
[12]
Mahmud
al-Tahhan, Taysir, hlm. 20.
[13]
Nuruddin
‘Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits,(Beirut: Dar al-Fikr,1997), hlm.
405
[14]
Mahmud
al-Tahhan, Tasyir Musthalah al-Hadits,op cit.,hlm. 20.
[15]
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, hlm.
301.
[16]
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits,hlm.
301. Juga Muhammad ‘Umair Hasyim, Qawaid
al-Ushul al-Hadits, (Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1984 M), hlm. 145.
[18]
Mahmud
al-Tahhan, Taysir, hlm. 20.
[19]
Ibn
Hajar, Nuzhat al-Nadzar fi Taudih Nukhbat al-Fikr(Dimasq: Matba’ah
al-Shabah, t.th), hlm. 51; juga Mahmud al-Tahhan, Taysi, hlm. 22
[20]
Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Mabahits
al-Kitab, hlm. 17.
[24]
Mahmud
al-Tahhan, Taysir, hlm. 29.
[27]
Mahmud
al-Tahhan, Taysir, hlm. 28.
[28]
Ibn
Hajar al-Asqalani, Syarh an-Nukhbah (Dimasq; Matba’ah al-Shiban, 1993),
hlm. 65
[30]
‘Abu ‘Amr Usman
Ibn ‘Abd al-Rahman Ibn al-Shalah, Ulum, hlm, 40; juga Abu Zakariya Yahya
Ibn Syarf al-Nawawi, Fann al-Ushul al-hadits, (Kairo: ‘Abd ar-Rahman
Muhammad, tth.), hlm. 6.
[32]
Ibn Hajar
al-Asqalani, Nuzhah al-Nazhar, hlm. 13.
[34]
Mahmud
al-Tahhan, Tasyir, hlm. 100-101.
[35]
Mahmud
al-Tahhan, Tasyir Musthalah al-Hadits,op cit.,hlm. 101.
[37]
Muhammad
Jamal al-Qasimi,Qawaid, hlm. 102 dan Syams al-Din Muhammad ibn ‘Abd
al-Rahman al-Skhawi, Fath al-Mugith, hlm. 69.
[38]
Muhammad
Jamal al-Qasimi,Qawaid, hlm. 102 dan Syams al-Din Muhammad ibn ‘Abd
al-Rahman al-Skhawi, Fath al-Mugith, juz I, hlm. 39 dan Jalal al-Din
‘Abd Rahman al-Syuyuthi, Tadrib,juz I, hlm. 89.
[39]
Lihat,
Qawaid al-Tahdits min Funun Musthalahah al-Hadits. Hlm. 64.
[40] Sebagian ulama
menyatakan, kata muallaq yang secara bahasa berarti tergantung ini diambil dari
pemakaian istilah ta’liq al-thalaq (cerai gantung) dan ta’liq al-jidar (dinding
gantung) karena ada unsur kesamaan dalam hal keputusan sambungan. Lihat, Ibid,
hal. 179.
[42] Menurut Ibn
al-Shalah, Al-Nawawi, dan Nur al-Din ‘Itr menyatakan bahwa ‘illat adalah sebab
yang trsembunyi yang merusak kualitas hadis, yang menyebabkan hadis yang pada
lahirnya tampak berkualitas shahih menjadi tidak shahih. Lihat, Idri, Studi
Hadis (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hal. 243.
0 komentar:
Posting Komentar