MAKALAH PEMBAGIAN HADITS DAN TINGKATANNYA



Sebelum kita mempelajari pembagian dan tingkatan hadis, ada baiknya jika kita terlebih dahulu megetahui pengertian dari hadits itu sendiri. berikut ini akan diuraikan beberapa pengertian hadits:
A.    Pengertian hadits.
Kata hadits atau al-hadits menurut bahasa berarti لأشياءالجديدم  (sesuatu yang baru), lawan kata dari القديم (sesuatu yang lama). Disamping itu kata ini juga mengandung arti dekat, yang belum lama terjadi dan juga berarti berita (الخبر) yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Bentuk jamaknya ialah الأحاديث.[4]
Secara terminologi, para ahli memberikan defenisi yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang ilmu dan tujuan masing-masing. Pengertian ulama ushul berbeda dengan yang dimaksud oleh ulama hadis dan ulama fikih. Akan tetapi di sini hanya dijelaskan menurut ulama ushuliyyun, yaitu, segala sesuatu yang bersumber dari nabi saw. baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya yang berhubungan dengan ketentuan-ketentuan Allah yang disyariatkan kepada manusia. 



B.     Pembagian Hadits
Pembagian hadits adalah suatu kegiatan yang bertujuan memisahkan atau mengklasifikasikan suatu hadits dengan hadits lain berdasarkan sanad, matan, dan rawi. Pembagian hadits secara garis besar terdiri dari segi kuantitas dan kualitas hadits,
1.      Jika ditinjau dari segi kuantitas, hadis terbagi dua (2) :
1)      Hadis Mutawatir, &
2)      Hadis Ahad.
1)      Hadits Mutawatir,
a.       Pengertian.
Kata mutawatir, secara bahasa, merupakan isim fa’il  dari kata al-tawatur yang bermakna al-tatabu’ atau (berturut-turut)[5] atau datangnya sesuatu secara berturut-turut dan bergantian tanpa ada yang menyela.[6] Dalam bahasa arab dikatakan: تواترالمطر   maksudnya hujan turun terus-menerus. Dalam hal ini mutawatir mengandung pengertian sesuatu yang bersifat kontinyu baik secara berturut-turut maupun secara terus-menerus tanpa adanya hal yang menyela yang menghalangi kontinuitas itu. Pengertian etimologis ini bila dikaitkan dengan hadis menunjukkan bahwa pada hadis mutawatir, antara periwayat yang satu dengan periwayat yang lain pada generasi sebelum maupun sesudahnya terjadi hubungan yang berturut-turut, runtun sehingga tidak terputus-putus dikarenakan jumlah pada masing-masing generasi cukup banyak.
Secara istilah, menurut Mahmud al-Tahhan, defenisi hadis mutawatir adalah:
ما رواه عدد كثيرتحيل العادة تواطؤهم علي الكذب
“Hadis yang diriwayatkan oleh banyak periwayat  yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta.[7]
Maksud defenisi tersebut, menurutnya, adalah hadits atau khabar yang diriwayatkan oleh para periwayat yang banyak pada tiap thabaqah (tingkatan/generasi) yang menurut akal dan adat kebiasaan mustahil para periwayat itu sepakat untuk membuat hadits yang bersangkutan.[8]
Berdasarkan defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa hadits mutawatir itu merupakan hadits shahih yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat yang menurut logika dan adat istiadat mustahil mereka sepakat untuk berdusta. Hadits ini diriwayatkan banyak orang periwayat pada awal, tengah, sampai akhir sanad dengan jumlah tertentu. Sandaran beritanya berdasarkan sesuatu yang dapat diindra seperti disaksikan, didengar, diraba, dicium, ataupun dirasa. 
b.      Syarat-syarat dan Hadits Mutawatir.
Dari beberapa definisi di atas diketahui syarat atau kriteria-kriteria hadits Mutawatir yaitu:
Ø  Diriwayatkan oleh periwayat yang banyak; (5, 7, 10, 12, 40, sd. 70-300 perawi, ulama berbeda pendapat).
Ø  Mustahil secara logika atau adat mereka sepakat berdusta; (logika dan adat istiadat dijadikan ukuran adalah pemkiran rasional dan adat istiadat yang bersifat umum yang berlaku di berbagai tempat buakan pada tempat tertentu saja. Dengan demikian, maka ukuran berapa pun jumlah periwayatnya—asalkan dalam kategori banyak—dapat dipastikan hadits tersebut mutawatir. Sebaliknya, jika keyakinan pasti belum tercapai, berapa pun banyak periwayatnya, maka tidak dapat di kategorikan ke dalam kelompok hadits ini.
Ø  Jumlah banyak itu terjadi pada setiap lapisan sanad dari awal sampai akhir; (mengenai syarat ini ada dua kemungkinan, Pertama, ukuran kesamaan atau keseimbangan adalah jumlah periwayat pada masing-masing generasi berada pada kisaran yang sama tidak terlalu jauh jumlahnya.[9] Misalnya, dari kalangan sahabat 10 orang, tabi’in 9 orang, atba’ al-tabi’in 10, dan seterusnya. Kedua, ukuran kesamaan atau keseimbangan adalah pada jumlah minimmal yang harus dipenuhi. Misalnya, jika suatu hadits diriwayatkan oleh sepuluh orang sahabat kemudian diterima oleh dua puluh orang tabi’in, dan selanjutnya diriwayatkan oleh lima atau empat orang orang atba’ al-tabi’in dan seterusnya dengan tidak kurang dari jumlah itu, maka dapat disebut dengan hadits mutawatir.
Ø  Sandaran berdasar panca indra. (seperti sesuatu yang dilihat, diraba, didengar, dirsakan, atau dicium. Karenanya, tidak disebut hadis mutawatir jika sandaran logikanya hanya bersandarkan logika semata seperti berita mengenai adanya Tuhan pencipta alam, kebaruan alam semesta, dsb.[10] Dengan kata lain, suatu hadis dapat dikatakan mutawatir antara lain apabila beriat dalam hadits itu bersifat empiris seperti hasil pendengaran, penglihatan, penciuman, dan sentuhan,[11] bukan hasil kontemplasi pemikiran atau konklusi dari suatu peristiwa atau istinbath dari suatu dalil.
Hadits-hadits jenis ini dapat diketahui dalam buku-buku yang secara khusus menghimpun hadis-hadis mutawatir, seperti:
a. Al-Azhar al-Mutanatsirah fi al-Akbar al-Mutawatirah, karya Imam al-Suyuthi yang disusun berdasar bab-bab tertentu.
b.  Qathf al-Azhar, ringkasan dari kitab diatas juga karya al-Suyuthi.
c. Nazm al-Mutanatsir min al-hadts al-Mutawatir, oleh Muhammad ibn Ja’far al-Kattani.[12]
c.       Pembagian Hadits Mutawatir.
Hadis mutawatir terbagi tiga, yaitu:
1.      Mutawatir Lafdzi;
2.      Mutawatir Ma’nawi.
3.      Mutawatir ‘Amali
(1). Mutawatir Lafdzi adalah hadis yang mutawatir baik lafadz mauoun maknanya, atau ما تواتر روايته علي لفظ واحد[13] . Menurut Muhammad al-Shabbagh, hadits mutawatir Lafdzi adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak periwayat sejak awal sampai akhir sanadnya dengan memakai redaksi yang sama. Contoh hadits mutawatir lafdzi:
مَنْ كَذَبَ عَلَيّ مُتَعَمِدً فليتبوأ مقعده من النار..
“Barang siapa berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka”
Hadis ini diriwayatkan oleh tujuh puluh sahabat Nabi, demikian seterusnya pada setiap thabaqah sanadnya diriwayatkan oleh banyak periwayat.[14]
(2). Mutawatir Ma’nawi adalah hadits yang mutawatir maknanya saja bukan lafalnya ما تواتر معناه دون لفظه. Hadis mutawatir kategori ini disepakati penukilannya secara makna tetapi redaksinya berbeda-beda. Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib mendefinisikan hadits Mutawatir Ma’nawi sebagai “Hadits yang periwatannya disepakati maknanya, akan tetapi lafalnya tidak”.[15]
Contoh hadits Mutawatir Ma’nawi adalah hadits-hadits tentang mengangkat tangan ketika berdoa yang diriwayatkan oleh Nabi saw. lebih dari seraatus hadits, meskipun redaksi hadits berlainan tapi isinya sama.[16]
(3). Mutawatir ‘Amali adalah sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa dia termasuk urusan agama dan telah mutawatir antara dikalangan umat Islam, bahwa Nabi saw. mengajarkan, menyuruhnya, atau selain dari itu.[17]
B.     Hadits Ahad.
a. Pengertian
Kata ahad (الآحاد) jamak dari (احد) yang berarti satu (الواحد) . Dengan demikian hadis ahad secara bahasa adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang[18].
Adapun menurut terminologi ulama hadis, hadis ahad adalah:
ما لم يجمع شروط المطواتر.
Hadits yang tidak memenuhi salah satu dari syarat-syarat hadis Mutawatir”.[19]
Menurut Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, hadis Ahad  adalah hadits yang sanadnya shahih dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya (Nabi) tetapi memberikan  pengertian Zhanni dan tidak sampai pada qath’i  atau yakin.[20]
Dari defenisi di atas menunjukkkan dua hal: (1) Dari segi periwatnya, hadis ahad berada dibawah hadits  mutawatir, (2) Dari segi isinya, hadis ahad berstatus Zhanni bukan Qath’i. Bagi ulama yang membedakan hadis dari segi kuantitasnya menjadi tiga: Mutawatir, Masyhur, dan  Ahad, defenisi hadis Ahad  adalah:
Hadis yang diriwatkan oleh satu orang atau dua orang, atau lebih yang jumlahnya tidak memenuhi persyaratan haadis masyhur atau mutawatir”.[21]
b. Pembagian Hadits Ahad.
Menurut Mahmud al-Thahhan, hadits Ahad dilihat dari segi jumlah sanadnya, terbagi menjadi tiga kategori yaitu hadits Masyhur, hadits Azis, dan hadits Gharib.[22]
(1)   Hadits  masyhur,
Secara bahasa merupakan ism maf’ul  dari kata syahara,  yang berarti sesuatu yang terkenal, yang dikenal, populer, di kalangan manusia.
Menurut terminolgi ulama hadits,sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Tahhan dan Ibn Hajar al-Asqalany, hadits Masyhur adalah:
ما رواه ثلاثة فكثروا في كل طبقة ما لم يبلغ حدالتواتر
“Hadits yang diriwayatkan oleh tiga periwayat atau lebih pada tiap thabaqah-nya tetapi tidak sampai pada peringkat mutawatir”.[23]
Contoh hadits masyhur adalah hadis berikut:
ان الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من العبا د
(2)   Hadits ‘Azis
Secara bahasa berarti sedikit atau jarang dan kata:  ‘azza ya ‘uzzu yang berarti kuat dan sangat. Disebut demikian karena hadits kategori ini sedikit adanya dan jarang, atau karena kuat dengan adanya sanad yang datang dari jalur lain[24].
Menurut istilah, hadits Azis adalah:
لايقل رواته عن اثنين في جميع طبقات السند.
“Hadits yang pada semua tabaqah sanadnya tidak kurang dari dua orang periwayat”
Contoh hadits ‘azis:
عن ابي هريرة ان رسول الله صلي الله عليه و سلم قال :" لاىؤمن احدكم حتي أكون أحب إليه من والده وولده والناس اجمعين"(رواه البخلري و مسلم).
“Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah SAW. bersabda: Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian hingga aku lebih dicintainya daripada ayahnya, anaknya, dan seluruh manusia” (H.R. Bukhari Muslim).
(3)   Hadits Gharib.
Secara bahasa berarti menyendiri ( (المنفرد atau jauh dari kerabatnya (البعيد عن أقاربه) [25] .
Secara istilah, ulama hadis mendefenisikan:
الحديث الذي انفرد به راو واحد وإن تعددت الطرق إليه
“Hadis yang diriwatkan secara sendirian oleh seorang periwayat, meskipun banyak jalur sanad padanya”.[26]
Mahmud al-Thahhan membagi hadis gharib menjadi dua, yaitu;
 (1) gharib mutlak: hadis yang diriwayatkan secara sendirian pada thabaqah shahabat. Contoh hadis gharib mutlak:
إنما الأعمال با لنيات وإنما لكل امرئ ما نوى
“Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niat, dan ganjaran seseorang tergantung pada apa yang diniatkan”.(H.R. Bukhari dan Muslim)
 & (2) gharib nisbi: hadis yang diriwayatkan secara sendirian di tengah-tengah sanad meskipun diriwayatkan oleh banyak periwayat pada thabaqah shahabat.[27]  Contoh hadis gharib nisbi:
أن النبي صلي الله عليه و سلم دخل مكة وعلي رأسه المغفرة] نفرد به مالك عن الزهري
“Bahwasanya Nabi saw. memasuki Makkah dan diatas kepalanya terdapat penghapus”(H.R. Bukhari Muslim). Hadis ini diriwayatkan secara sendirian oleh Malik dari al-Zuhri.
2.      Jika ditinjau dari segi kualitas, hadis terbagi dua, yaitu:
1)      Hadits Maqbul
2)      Hadits Mardud
a.       Hadits Maqbul
a).  Pengertian.
Maqbul menurut bahasa yaitu, ma’khudz (yang diambil) dan mushaddaq (yang dibenarkan atau diterima).
Secara istilah yaitu: ما توافرت جميع شروط القبول (hadis yang memenuhi semua persyaratan penerimaan). Syarat-syarat penerimaan hadits—sebagaimana nanti diuraiakan—yaitu sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabith, tidak mengandung syadz serta tidak ber-illat. Hadis ini terbagi dua yaitu: (1). Hadits Shahih, & (2). Hadits Hasan.
(1). Hadits Shahih, Shahih secara bahasa berarti sehat, selamat, benar, sah dan sempurna. Maka hadits shahih secara bahasa adalah hadits yang sehat, selamat, benar, sempurna, sah dan tidak sakit. Secara terminologis, hadits yang sanadnya bersambung kepada Rasulullah saw. atau pada sanad terakhir, berasal dari kalangan shahabat tanpa mengandung Saydz, ataupun illat. Ibn Hajar al-Asqalany dalam Nuzhah al-Nazhar Syarh Nukhbah al-Fikar, lebih ringkas mendefenisikan hadis shahih, yaitu:
خيرالآحاد بنقل عدل تام الضبط, متصل السند, غير معلل ولا شاذ
“Hadits yang diriwayatkanoleh orang yang ‘adil, sempurna ke-dhabith-annya,bersambung sanadnya tidak ber-illat dan tidak ber-syadz”.
(2). Hadits hasan, secara bahasa berarti sesuatu yang diinginkan dan menjadi kecenderungan hawa nafsu. Ibn Hajar al-Asqalany mendefenisikan hadits hasan kemudian pendapanya ini banyak diikuti oleh ulama hadits yaitu:
الحديث الذي اتصل سنده بنقل عدل خف ضبطه ولم يكن شاذا ولا معضلا
“Hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang ‘adil,kurang kuat hafalannya, tidak mengandung ‘illat dan sydz”.[28]
            Dengan demikian hadits hasan, pada dasarnya sama dengan hadist shahih yaitu hadits yang memenuhi syarat-syarat, (1). Sanadnya bersambung, (2). Diriwayatkan oleh periwayat yang adil, (3). Dhabhith, (4). Tidak mengandung Syadz, dan (5). Tidak pula mengandung illat. Hanya saja, pada hadits hasan, diantara periwayatnya ada yang kurang Dhabith, sedangkan pada hadits shahih, seluruh periwatannya dhabith.
 b).  Kriteria Hadits Shahih dan Hadits Hasan.
i)        Sanad Tersambung, tiap-tiap periwayat dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari periwayat terdekat sebelumnya; keadaan ini berlangsung demikian sampai akhir sanad hadis itu.[29]
Berkaitan pula dengan ketersambungan sanad ini, dikenal pula istilah hadis mutthashil, atau mawshul. Menurut Ibn al-Shalah dan an-Nawawi, hadits mutthashil, atau mawshul adalah hadits yang bersambung sanadnya, baik persambungan itu sampai pada Nabi maupun hanya sampai kepada shahabat Nabi saja.[30] M. Syuhudi Ismail menyimpulkan bahwa hadits mutthashil, atau mawshul, ada yang marfu’(disandarkan pada Nabi), ada yang mauquf (disandarkan pada Shahabat), dan ada pula yang maqthu’ (disandarkan pada tabi’in). Jika dibandingkan dengan hadits Musnad, maka dapat dinyatakan bahwa hadits musnad pasti mutthashil, atau mawshul, tetapi tidak semua hadits mutthashil, atau mawshul, pasti hadits musnad.[31]
ii)      Periwayat bersifat ‘Adil. Berdasarkan pernyataan para ulama, diketahui berbagai kriteria periwayat hadits dikatakan ‘adil. secara akumulatif, kriteria itu adalah: (1). Beragama Islam, (2). Baligh, (3). Berakal, (4). Takwa, (5). Memelihara muru’ah, (6). Teguh dalam beragama, (7). Tidak berbuat dosa besar, (8). Tidak berbuat maksiat. (9). Tidak berbuat bid’ah. Dan (10). Tidak berbuat fasik.
iii)    Periwayat Hadits Bersifat Dhabith.
Secara bahasa, Dhabith berarti yang kuat, kokoh, yang hafal dengan sempurna. Ibn Hajar al-Asqalani, menyatakan bahwa seseorang yang disebut dabith adalah oarangyang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengar, dan mampu menyampaikan hafannya itu kapan saja dia menghendaki.[32]
Cara mengetahui ke-dhabith-ian periwayat hadits menurut berbagai pendapat ulama adalah:
(1). Ke-dhabith-an periwayat dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama.
(2). Ke-dhabith-an periwayat dapat diketahui berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat yamg lain yang telah dikenal ke-dhabith-annya, baik kesesuaiannya itu sampai tingkat makna, maupun sampai tingkat harfiah.
(3). Periwayat yang sesekali melakukan kekeliruan, tetap dinyatakan dabith, asalkan kesalahn itu tidak sering terjadi.
      iv)   Terhindar dari Syadz ( kejanggalan).
Secara bahasa, syadz merupakan ism fa’il n dari  syadzdza  yang berarti menyendiri (infarada). Menurut istilah ulama, hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh periwayat yang tsiqah tetapi bertentangan dengan riwayat lain yang lebih tsiqah.[33]  
Jadi, bagi al-Syafi’i, suatu hadits dinyatakan mengandung Syadz, apabila: (1). Hadis itu memiliki kebih dari satu sanad; (2). Para periwayat hadits itu seluruhnya tsiqah;(3). Matan atau sanad hadis mengandung pertentangan.
iv)    Terhindar dari ‘illat.
‘Illat, jamaknya ilal, secara bahasa berarti cacat, kesalahn baca, penyakit dan keburukan. Menurut istilah ilmu hadits, illat berarti sebab yang tersembunyi yang dapat merusak kesahihan hadits.[34]
Menurut Mahmud al-Tahhan, suatu hadits dinyatakan ber-illat, apabila mengandung kriteria berikut: (1). Periwayatnya menyendiri., (2). Periwayat lain bertentangan dengannya., (3). Qarinah-qarinah lain yang terkait dengan dua uansur diatas.[35]
Dengan demikian, cara untuk mengetahui adanya illat hadits adalah sbb: (1). Menghimpun seluruh sanad hadits, dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya tawabi’ dan atau syahid; (2). Melihat perbedaan antara periwayatnya; (3). Memperhatiakan status kualitas para periwayat baik berkenaan dengan keadilan, maupun ke-dhabith-an masing-masing periwayat.
c)                  Macam-macam Hadits Shahih dan Hadits Hasan.
(1)   Hadits Shahih : (1). Shahih li dzatih, yaitu hadits yang memenuhi kriteria-kriteria hadits shahih yang lima sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Hadits shahih kategori ini telah dihimpun oleh para mudawwin hadits seperti al-Bukhari dalam kitabnya Shahih Bukhary,  Muslim al-Hallaj dalam Shahih Muslim, Abu Dawud dalam  Sunan Abi Dawud, Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad Ahmad, dsb. (2). Shahih li ghayrih adalah hadits yang kesihihannya dibantu oleh adanya hadits lain. Pada mulanya hadits ini memiliki kelemahan  berupa periwayat yang kurang dhabith, sehingga dinilai tidak memenuhi syarat untuk dikategorikan dalam hadits sahih.[36] Tetapi setelah diketahui ada hadits lain dengan kandungan matan yang sama dan berkualitas shahih, maka hadits tersebut naik derajatnya menjadi shahih.
(2)   Hadits Hasan : (1). Hasan li dzatih: yaitu hadits yang memenuhi kriteria hadits hasan yang lima, yaitu, 1. Sanadnya bersambung; 2. Periwayatnya ‘adil; 3. Periwayatnya kurang dhabith; 4. Terlepas dari syadz; dan 5. Terlepas dari illat. Menurut Ibn al-Shalah, sebagaimana dikutip al-Qasimi dan al-Sakhawi, pada hadits hasan li dzatih para periwayat terkenal kebeikannya, tetapi daya ingatan dan kekuatan hafalan mereka belum sampai pada derajat hafaln para periwayat shahih.[37] Hadits hasan li dzatih ini bisa naik derajat menjadi hadits shahih li ghayrih, apabila ditemukannya adanya haidts lain yang menguatkan kandungan matannya atau adanya sanad lain yang juga meriwayatkan matan yang sama, seabagai tabi’i atau syahid. (2). Hasan li ghayrih adalah hadits yang berkualitas hasan karena adanya hadits lain yang mengangkatnya. Pada asalnya hadits tersebut berkualitas dha’if, tetapi karena adanya sanad lain yang shahih yang meriwayatkan matan yang sama, maka kualitas hadits daif tersebut terangkat menjadi hadits hasan li ghayrih. Menurut Ibn al-Shalah, sebagaimana dikutip oleh al-Sakhawi dan al-Syuyuthi, hadits hasan li ghayrih adalah hadits hasan yang sanadnya ada seoarang yang belum ma’tsur (belum diketahui), bukan pelupa banyak kesalahan, tidak terlihat adanya sebab-sebab yang menjadikannya fasik, dan matan haditsnya diketahui baik berdasar hadits lain yang semakna.[38]









b.      Hadits Mardud.
Secara bahasa berarti hadits yang tertolak atau yang tidak diterima. Sedangkan menurut istilah yaitu:
فقد تلك الشروط أبعضها
(hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarat hadis maqbul).    Tidak terpenuhinya persyatam dimaksud bisa terjadi pada sanad atau matan,atau pada keduanya sekaligus. Para ulama mengelompokkan hadis jenis ini menjadi dua yaitu hadits dha’if dan hadits maudhu’.
(1)   Hadits Dha’if.
a)       Pengertian Hadits Dha’if.
Kata dha’if menurut bahasa berarti “lemah”, sebagai lawan dari qawi (yang kuat). Sebagai lawan kata dari shahih, kata dha’if juga berarti saqim (orang yang sakit). Maka sebutan hadits dhaif secara bahasa berarti hadits yang lemah, yang sakit, dan yang tidak kuat.
Secara terminologis, para ulama mendefenisikannya dengan redaksi yang beragam, meskipun maksud dan kandungannya sama. Imam al-Nawawi seperti dikutip Jamaluddi al-Qasimi mendefenisikan hadits dha’if dengan:

الضيف ما لم يوجد فيه شروط الصحة ولا  شروط الحسن
“hadits yang didalmnya tidak terdapat syarat-syaratb hadits shahih dan syarat-syarat hadits hasan”.[39]
Pada defenisi terlihat bahwa, kriteria-kriteia hadits dha’if adalah tidak memenuhi salah satu dari kriteria hadits shahih dan hadits hasan, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
b)     Macam-macam Hadits Dha’if.
1.  Hadits Dhaif Karena Sanadnya Terputus.
Terputusnya atau gugurnya suatu sanad, mungkin berada diawal sanad, mungkin dipertengahan, mungkin diakhirnya, dan mungkin seluruhnya. Ibn Hajar al-Asqalany, membagi hadits dhaif kepada lima macam, yaitu:
a.  Hadits Muallaq.
            Hadits muallaq adalah hadits yang teputus diawal sanad. Kata muallaq secara bahasa berarti tergantung.[40] Secara terminologis, hadis muallaq adalah hadis yang periwayatannya diawal sanad (periwayat yang disandari oleh penghimpun hadis) gugur atau terputus seorang atau lebih secara berurut.
            Hadis mu’allaq disebut hadis dai’f karena rangkaian sanadnya hilang atau terputus, sehingga tidak diketahui identitas dan kualitas para periwayat yang sesungguhnya.
b. Hadits Munqathi.
Kata munqathi berasal dari bentuk verbal inqatha’a yang berarti berhenti, kering, patah, pecah, atau putus. Secara istilah, hadis munqathi adalah hadist yang ditengah sanadnya ada periwayatnya yang gugur seorang atau dua orang tidak secara berurutan.
Keterputusan pada hadis munqathi’, menurut ulama hadis, dapat terjadi pada thabaqat kedua, ketiga, atau keempat, satu orang atau lebih tetapi tidak secara berturut-turut. Untuk mengetahui keterputusam sanad pada hadis munqathi dapat diketahui dengan tiga cara, yaitu:
(1). Dengan jelas. Yaitu periwayat yang meriwayatkan hadis dapat diketahui dengan pasti tidak sezaman dengan guru yang memberikan hadis kepadanya atau ia hidup sezaman dengan gurunya, tetapi tidak mendapat izin untuk metiwayaatkan hadisnya. Hal ini dapat dilihat dari tahun lahir atau wafat mereka. (2). Dengan samar-samar, yaitu karena tidak ada tahun lahir atau tahun wafat periwayat, maka keterputusan hadits munqahti, hanya diketahui oleh orang yang ahli saja. (3). Dengan komparasi, yaitu dengan memperbandingkan hadis-hadis dengan hadis yang lain yang senada sehingga diketahui apakah hadis itu munqati’ atau bukan.
            c. Hadis Mu’an’an dan Muannan.
            Kata al-mu’an’an merupakan bentuk maf’ul dari kata ‘an’ana yang berarti periwayat berkata, ‘an’an (dari...dari...) secara bahasa, berarti pernyataan periwayat, si A dari si B. kata al-muannan berasal dari kata annana yang berarti periwayat berkata: anna (bahwa) yang menunjukkan bahwa periwayat meriwayatkan hadis dari periwayat lain dengan menggunakan metode anna.
Para ulama berbeda pendapat tentang status hadis al-mu’an’an. Sebagian mereka menyatakan bahwa hadis kategori ini berstatus munqathi’, hingga diketahui dengan jelas ke-mutthashil-annya. Jumhur ulama hadis, fiqh, dan ushul, berpendapat bahwa, hadis al-mu’an’an muththashil dengan beberapa syarat, dua syarat diantaranya disepakati, yaitu:
1). Hadis al-mu’an’an tidak mengandung tadlis.
2). Terdapat kemungkinan periwayat yang meriwayatkan secara al-mu’an’an bertemu dengan periwayat yang hadisnya diriwayatkan secara ‘an’anah.
Adapun syarat lain yang tidak disepakati, yaitu:
(3). Al-Bukhari, Ibn al-Madini, dan beberapa ulam lain mensyaratkan keharusan bertemu periwayat yang meriwayatkan secara al-mu’an’an dengan periwayat hadisnya yang diriwayatkan secara ‘an’anah
(4). Abu al-Muzhaffar al-Sam’ani mengharuskan keduanya telah lama bersahabat.
(5). Abu ‘Amr al-Dani berpendapat bahwa ia harus mengtahui hadis yang diriwayatkannya.
Para ulama menghukumi hadis al-Mu’annan sama dengan al-mu’an’an diatas. Dengan demikian, hadis al-mu’an’an dengan al-muannan sama-sama berstatus munqathi jika tidak memenuhi persyaratan tersebut dan berkualitas dhaif.
d. Hadis Mu’dal.
Kata mu’dal sendiri berasal dari kata kerja ‘adhala yang berrati melemahkan, melemahkan menutup rapat, atau menjadikan bercacat. Kata mu’dhal digunakan untuk jenis   hadis tertentu kerena pada hadis itu ada bagian sanadnya yang lemah, tertutup, atau cacat.          
Secara terminologi menurut MuhammagAjjaj al-Khatib, hadis Mu’dhal adalah hadis yang gugur dua orang sanadnya atau lebih secara berturut-turut. Kriteria hadis mu’dhal adalah:
(1). Sanad yang gugur (terputus) lebih dari satu orang;
(2). Keputusan secara berturut-turut. Sebagian ulama menambahkan kriteria,
(3). Tempat keterputusan ditengah sanad, buakb diawal atau diakhir.
Jadi hadis mu’dhal adalah hadis yang gugur dua orang periwayatnya atau lebih secara brturut turut baik gugrnya itu antara sahabat dan tabi’in, antara tabi’in dan tabi’ al-tabi’in, atau dua orang setelah mereka.
e. Hadis Mursal.
Kata mursal secara bahasa berarti lepas atau terceraikan dengan cepat atau tanpa halangan. Kata ini kemudian digunakan untuk hadis tertentu yang periwatannya melepaskannya hadis tanpa terlebih dahulu mengaitlannya kepada sahabat yang menerima hadis itu dari Nabi.
Secara terminologis, mayoritas ulama hadis mendefenisikan hadis mursal dengan hadis yang disandarkan langsung kepada nabi oleh seorang tabi’i, baik tabi’i besar maupun tabi’i kecil, yanpa tetlebih dahulu disandarkan kepada Nabi.
           
f. Hadis Mawquf dan Maqthu’
            Hadis mawquf adalah hadis yang disandarkan kepada sahabat nabi atau hadis yang dirwayatkan oleh sahabat Nabi yang berupa perkataan, perbuatan, atau persetujuannay. Dilihat dari arti bahasa, berasal dari kata waqafa-yaqifu, yang berarti dihentikan atau diwaqafkan. Maksudnya hadis jenis ini dihentikan penyandarannya kepada sahabat dan tidak sampai kepada Nabi.
Hadis maqthu’ berasal dar kata qata’a, memotong, lawan washala menghungkan, secara istilah, berarti hadis yang disandarkankepada seorang tabi’in atau sesudahnya baik perkataan maupun perbuatan.
Disebut maqthu’ karena hadis itu terpotong, yaitu sandarnnta terpotong hanya sampai pada tabi’in.
2. Hadis Dhaif Karena Periwayatnya Tidak ‘Adil.
a. Hadis Maudhu’.
Hadis maudhu adalh hadis dusta yang dibuat-buat dan dinibatkan kepada Rasulullah. Secara bahasa berarti, sesuatu yang digugurkan (al-masqath), yang ditingggalkan (al-matruk), dan diada-adakan(al-muftara).
Menurut istilah, hadis maudhu adalah pernyataan yang dibuat seseorang kemudian dinisbahkan kepada Nabi saw. hadis maudhu dicipta oleh pendusta kemudian disandarkan kepada Rasulullah untuk memperdayai.
            b. Hadis Matruk.
            Hadis Matruk adalah hadis yag diriwayatkan oleh orang yang tertuduh dusta dalam meriwayatkan hadis. Apabila dibandingkan dengan hadis-hadis dha’if yang lain, jadi hadis ini merupakan hadis dha’if paling rendah. Jadi sebaliknya dari hadis mudha’af.
c. Hadis Munkar.
Hadis munkar adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang dha’if[41], kemudian hadis itu riwayat dan isinya beertentangan dari yang diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqah. Apabila hadis yang diriwayatkan oleh orang yang dhaif itu tidak menyalahi dengan yang diriwayatkan oleh ornga yang tsiqah, mak hadis tersebut hanya disebut sebagai hadis dhaif.
             Pebedaan hadis munkar dengan hadis syadz, adalah bahwa ahdis syadz perawinya adalah oerng yang tsiqah atau shaduq, sedang pada hadis munkar ia diriwayatkan oleh orang yang cacat atau lemah.
Adapun persamaan kedua hadis ini berlawanan dengan riwayat lain yang lebih tsiqah.
            3. Hadis Dhaif Karena Periwayatnya Tidak Dhabith.
            a. Hadis Mudallas.
            Berasal dari kata dallasa yang secara bahasa berarti menipu atau menyembunyikan cacat, mudallas berrati suatu hadis yang terdapat didalamnya tipuan atau cacat. Menurut istilah, hadis mudallas adalah hadis yang diriwayatkan dengan cara yang diperkirakan bahwa hadis itu tidak bercacat. Secara umum,jenis tadlis ada dua macam. Yaitu :
(1). Tadlis al-isnad adalah, periwayat hadis yang menyatakan telah menerima hadis dari periwayat tertentu yang sezaman dengannya, padahal mereka tidak pernah bertemu atau mungkin saja mereka pernah bertemu tetapi anatara mereka tidak pernah atau pernah diragukan pernah terjadi kegiatan penyampaian atau periwayatan hadis.
(2). Tadlis al-Syuyukh, adalh perwayat hadis yang menyebut secara salah identitas guru atau syekh hadis yang menyampaikan hadis kepadanya. Keslahan penyebutan mungkin berkenaan dengan nama, gelar, famili, julukan atau sifat atau nama negeri guru tersebut
b. Hadis Mudraj.
Secara bahasa berarti menyisipkan. Menurut istilah ilmu hadis, mudraj adalah hadis yang bentuk sanadnya diubah atau kedalam matannya dimasukkan sesuatu kata atau kalimat yang sebetulnya bukan bagian dari hadis tersebut. Faktor pendorong dilakukannya banyak penyisipan dalam hadis, menurut Mahmud al-Tahhah cukup banyak dan yang sering adalah:
1)      Karena keinginan untuk menjelasakan hukum syara’
2)      Mengistinbatkan hukum syara’ dari suatu hadis sebelum hadis itu selesai diriwayatkan secata keseluruhan.
3)      Menjelasakan lafal yang jarang (gharib) dalam hadis.
c. Hadis Maqlub.
            Hadis yang diriwayatkan dengan cara mengganti kata dengan kata lain baik pada sanad maupun pada matannya disebut hadis maqlub. Maqlub berasal dari kata al-qalb, yang berarti mengubah sesuatu dari keberadaannya. Jadi hadis maqlub adalah hadis yang didalamnya periwayat menukar suatu kata dengan kalimat yang lain. Menurut Mahmud al-Tahhah, faktor2  pendorong terjadinya hadis maqlub adalah:
1)      Agar suatu hadis menyendiri dan orang-orng senang meriwayatkan dan berhujjah dengannya.
2)      Untuk menguji kekuatan hafaln seorang ahli hadis.
3)      Karena kesalahan dan kelalaian tanpa sengaja.
d. Hadis Mazid.
Jika sebuah hadis mendapatkan tambahan kata atau kalimat yang bukan berasal dari hadis itu baik pada sand maupun pada matan, maka hadis itu disebut hadis mazid. Tambahan dapat terjadi pada sanad atau matan. Tambahan pada sanad dilakukan dengan menambah nama periwayat atau memarfu’kan hadis mawquf atau mamawshulkan hadis mursal.
            e. Hadis Mudtharib.
            Secara bahasa berasal dari al-idthirabah yang berarti kekacauan sesuatu atau kerusakan aturannya. Menurut istilah , mudhtharib adalah hadis yang diriwayatkan dengan cara yang berbeda-beda tetapi sama kekuatannya.
Dari defenisi dapat diketahui bahwa kriteria hadis mudhtharib, adalah:
1). Adanya kekacauan riwayat hadis dan tidak mungkin dilakukan kompromi antara keduanya
2). Adanya kesamaan kekuatan riwayat sehingga tidak mungkin melakukan tarji diantara keduanya.
            Sisi kedha’ifan hadis ini terletak pada atau disebabkan oleh perbedaan hafalan dan kekuatan ingtan diantara para periwayatnya. Jika perbedaan ini tidak ada, berarti salah satu riwayat unggul dan itu berarti pula hadisnya bukan lagi mudhtarrib, dengan kata lain, suatu hadis yang diriwyatkan secara berbeda dan masing-masing mempunyai kekuatan yang sama sehingga tidak mungkin dilakukan at-tarjih atau kompromi. Akan tetapi manakala suatu hadis yang berbeda itu berbeda pula kekuatannya, misalnya, yang satu shahih dan yang lain dha’if, maka tidak terjadi al-idthirab.
f. Hadis Mushahhaf.
            Berasal dari bahasa arab al-tashrif yang berarti salah dalam membaca lembaran dengan mengubah sebagian redaksinya karena salah dalam membaca.
Al-Farisi mendefenisikan hadis ini dengan hadis yang mengalami perubahan lafal ataupun makna baik karena perubahan karena faktor pendengaran atau penglihatan yang terjadi pada sanad atau matan.
g. Hadis Majhul.
Kata majhul berasal dari kata jahila yang berarti bodoh, tidak mengetahui. Menurut istilah, majhul adalah hadis yang tidak di ketahui jati diri periwayat atau keadaannya. Dalam hal ini, periwayat tidak diketahui jati diri dan kepribadiannya atau kepribadiannya diketahui tetapi tidak diketahui keadilann dan kedhabitannya.
Keberadaan hadis majhul disebabkan oleh faktor-faktor penyebab baik yang terkait dengan identitas perawi, kuantitas riwayat, atau faktor penyebutan nama.
4. Hadis Dha’if Karena Mengandung Syadz.
Secara bahasa, syadz merupakan isim fa’il dari syadza yang berarti sesuatu yang menyendiri (infarada) atau sesuatu yang menyendiri terpisah dari mayoritas.
Menurut istilah syadz adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat tsiqah dan bertentangan dengan riwayat oleh periwayat yang lebih tsiqah.
Menurut al-Syafi’i, suatu hadis dinyatakan mengandung syadz apabila:
            1). Hadis itu memiliki lebih dari satu sanad.
            2). Para periwayat hadis itu seluruhnya tsiqah.
            3). Matan atau sanad hadis itu mangandung pertentangan.
            5. Hadis Dhaif Karena Mengandung ‘Illat.
            Secara bahasa illat berarti cacat, kesalahan baca, penyakit dan keburukan. Menurut istilah ahli hadis, ‘illat berarti sebab yang tersembunyi yang dapat merusak keshahihan hadis.[42] Suatu ‘illat hadis dapat terjadi pada matan dan atau sanad hadis sekaligus. Akan tetapi, yang terbanyak ‘illat terjadi pada sanad. Masing-masing hadis, baik illatnya terjadi pada sanad, matan, atau keduanya sekaligus disebut dengan hadis muallal. Suatu hadis juga disebut illat apabila berupa hadits maqthu yang diriwayatkan secara marfu’ atau hadis munqathi yang diriwayatkan secara muttashil yang diketahui setelah dilakukan perbandingan sanad hadis dengan sanad hadis yang lain.


(2)   Hadis Maudhu’
Hadis maudhu secara bahasa adalah hadis palsu, atau penisbatan sesuatu kepada Rasulullah saw. seperti inilah yang selanjutnya yang dikenal dengan hadis palsu atau hadis maudhu’. Hadis maudhu sebenarnya tidak layak disebut sebagai sebuah hadis, karena ia sudah jelas ia bukan sebuah hadis yang bisa disandarkan kepada Nabi saw.
Menurut istilah yaitu:
ما نسب الي الرسول ص.م. إختلاقا وكذبا مما لم يقله أو يفعله أو يقره.
“Hadis yang disandarkan kepada Rasulullah saw. secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan, berbuat ataupun menetapakan”.
1. Latar Belakang Munculnya Hadis Maudhu’
Ø  Pertentangan Politik.
Ø  Usaha Kaum Zindiq
Ø  Fanatik Terhadap Bangsa, Suku, Negeri, Bahasa, dan Pimpinan.
Ø  Pembuat Cerita dan Nasehat
Ø  Membangkitkan Gairah Beribadat, Tanpa Mengerti Apa yang Dilakukan
Ø  Menjilat Penguasa.
2. Kaidah Untuk Mengtahui Hadis Maudhu’
      a. Dalam Sanad.
ü  Atas dasar pengakuan para pembuat hadis palsu.
ü  Adanya qarinah (dalil) yang menunjukkan kebohongannya.
ü  Meriwayatkan hadis sendirian, sementara diri rawi dikenal sebagai pembohong.
b. Dalam Matan.
ü  Buruknya redaksi Hadis.
ü  Maknanya rusak.
ü  Matannya bertentangan dengan akal atau kenyataan,
ü  Matannya menyebutkan janji yang sangat besar atas perbuatan yang kecil atau sebaliknya.
ü  Bertentangan dengan kenyataan sejarah yang benar-benar terjadi di masa Rasulullah saw.
ü  Hadis yang terlalu melebih-lebihkan salah satu sahabat.

BAB III Penutup
1.      KESIMPULAN
v  Ilmu Hadits adalah pengetahuan mengenai kaidah-kaidah yang menghantar-kan kepada pengetahuan tentang rawi (periwayat) dan marwi (materi yang diriwayatkan).
v  Hadits shahih sebagai hadits yang sanadnya sambung berakhir pada Rasulullah saw. Suatu hadits dapat dikatakan shahih apabila memenuhi 5 persyaratan,yaitu :
v  Semua rawinya adil
v  Semua rawinya sempurna ingatan (dlabith)
v  Sanadnya bersambung-sambung tidak putus
v  Tidak ber’illat (cacat tersembunyi)
v   Tidak janggal (syadz)
v  Hadits hasan yaitu adakalanya termasuk hadits shahih,seperti yang dikutip oleh adz-dzahabi dari imam bukhari dan muslim.
v   syarat-syarat hadits hasan dapat dirinci sebagai berikut:
v   Sanadnya bersambung
v   Perawinya adil
v   Perawinya dhabit, tetapi kedhabitannya di bawah kedhabitan perawi hadits hasan
v  Tidak terdapat kejanggalan
v  Tidak ada illat
v  Hadits Dla’if Menurut lughat, dla’if adalah yang lemah, lawan “qawi” yang kuat. Hadits dla’if bermacam-macam, dan kedhaifannya bertibngkat-tingkat, tergantung dari jumlah keguguran syarat hadits shahih atau hadits hasan, baik mengenai rawi, sanad, atau matan.
v  Hadis maudhu secara bahasa adalah hadis palsu, atau penisbatan sesuatu kepada Rasulullah saw.

2.      SARAN
Saya  mengharapkan agar makalah ini dapat dibaca dan dipahami serta bermanfaat bagi pembaca. Semoga makalah ini dapat menambah wawasan para pembaca mengenai Al-Hadits khususnya tentang  pembagian dantingkatan-tingkatan hadits.







DAFTAR PUSTAKA

  Drs. Maslani,M.Ag. dan Ratu Suntiah,M.Ag.ikhisar ulumul hadits.Bandung:SEGA ARSY.2012

            Hussein Bahreisj.hadits shahih al-jamius shahih bukhari-muslim.Surabaya:CV KARYA UTAMA.2010

            Prof.Dr.Daniel Junedi.M.Ag.ilmu hadis.Jakarta:ERLANGGA.2010

Dr. Zarkasih, M.Ag., Pengantar Studi Hadis.Yogyakarta: Aswaja Presindo. 2012.

@http://berbagiilmuqu.blogspot.co.id/2013/03/tingkatan-tingkatan-hadits.html

Ibn Hajar al-Asqalani, Syarh an-Nukhbah Dimasq; Matba’ah al-Shiban, 1993




[2] Sanad : rangkaian perawi yang menghantarkan kepada matan
[3] Matan : isi dari sebuah hadis/ ucapan atau perkataan, perbuatan, ketetapan serta persetujuan dari Nabi Muhammad SAW.


[4]  Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab, Juz II (Beirut: Dar Shadir, t.th), hlm. 131; Muhammad Jamaluddin al-Qasimiy, Qawaid al-Tahdits min Funun Musthalahah al-Hadits (Beirut: Dar al-Nafais,2006), hlm. 61.
[5]  Mahmud al-Tahhan, Tasyir Musthalah al-Hadits,(Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, cet. 10, 2004) hlm. 19 
[6]  Al-Hafizh Tsana’ Allah al-Zahidi, Tawjih al-Qari’ila al-Qawaid wa al-Fawaid al-Ushuliyyah wa al-haditsiyyah aq al-Isnadiyyah fi Fath al-Bari (Beirut: dar al-Fikr, tth.), hlm. 155
[7] Mahmud al-Tahhan, Tasyir Musthalah al-Hadits,op cit.,hlm. 19.
[8] Mahmud al-Tahhan, Tasyir Musthalah al-Hadits,op cit.,hlm. 19.
[9] Muhammad al-Shabbagh, al-Hadits a—Nabawi, (Riyadh: Mansurat al-Maktab al-Islami, 1972), hlm. 165.
[10]  Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, al-Wasith, hlm. 189.
[11] Muhammad ibn ‘Alawi al-Maliki, al-Manhal al-Lathif fi al-Hadits al-Syarif, (Madinah:tp,tth.), hlm. 100-101.
[12] Mahmud al-Tahhan, Taysir, hlm. 20.
[13] Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits,(Beirut: Dar al-Fikr,1997), hlm. 405
[14] Mahmud al-Tahhan, Tasyir Musthalah al-Hadits,op cit.,hlm. 20.
[15] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, hlm. 301.
[16] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits,hlm. 301. Juga Muhammad ‘Umair Hasyim,  Qawaid al-Ushul al-Hadits, (Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1984 M), hlm. 145.
[17] Munzir Suparta, op. Cit., hlm. 107-108.
[18] Mahmud al-Tahhan, Taysir, hlm. 20.
[19] Ibn Hajar, Nuzhat al-Nadzar fi Taudih Nukhbat al-Fikr(Dimasq: Matba’ah al-Shabah, t.th), hlm. 51; juga Mahmud al-Tahhan, Taysi, hlm. 22
[20] Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Mabahits al-Kitab, hlm. 17.
[21] Ibid, hlm. 25; Ibnu Hajar, Syarh Nukhbah al-Fikr, hlm. 46.
[22] Mahmud al-Tahhan, Taysir, hlm. 20.
[23] Ibid, hlm. 25; Ibnu Hajar, Syarh Nukhbah al-Fikr, hlm. 46.
[24] Mahmud al-Tahhan, Taysir, hlm. 29.
[25]  Ibid, hlm. 28.
[26] Ibid, hlm. 227.
[27] Mahmud al-Tahhan, Taysir, hlm. 28.
[28] Ibn Hajar al-Asqalani, Syarh an-Nukhbah (Dimasq; Matba’ah al-Shiban, 1993), hlm. 65
[29] ‘Abu ‘Amr Usman Ibn ‘Abd al-Rahman Ibn al-Shalah, Ulum al-Hadits,(al-Madinah al-Muanawwarah)
[30] ‘Abu ‘Amr Usman Ibn ‘Abd al-Rahman Ibn al-Shalah, Ulum, hlm, 40; juga Abu Zakariya Yahya Ibn Syarf al-Nawawi, Fann al-Ushul al-hadits, (Kairo: ‘Abd ar-Rahman Muhammad, tth.), hlm. 6.
[31] M. Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang,1995), hlm. 127-128
[32] Ibn Hajar al-Asqalani, Nuzhah al-Nazhar, hlm. 13.
[33]  Ibid., hlm. 117
[34] Mahmud al-Tahhan, Tasyir, hlm. 100-101.
[35] Mahmud al-Tahhan, Tasyir Musthalah al-Hadits,op cit.,hlm. 101.
[36] Ibid.
[37] Muhammad Jamal al-Qasimi,Qawaid, hlm. 102 dan Syams al-Din Muhammad ibn ‘Abd al-Rahman al-Skhawi, Fath al-Mugith, hlm. 69.
[38] Muhammad Jamal al-Qasimi,Qawaid, hlm. 102 dan Syams al-Din Muhammad ibn ‘Abd al-Rahman al-Skhawi, Fath al-Mugith, juz I, hlm. 39 dan Jalal al-Din ‘Abd Rahman al-Syuyuthi, Tadrib,juz I, hlm. 89.
[39] Lihat, Qawaid al-Tahdits min Funun Musthalahah al-Hadits. Hlm. 64.
[40] Sebagian ulama menyatakan, kata muallaq yang secara bahasa berarti tergantung ini diambil dari pemakaian istilah ta’liq al-thalaq (cerai gantung) dan ta’liq al-jidar (dinding gantung) karena ada unsur kesamaan dalam hal keputusan sambungan. Lihat, Ibid, hal. 179.
[41] Perawi yang tidak memenuhi syarat sebagai periwayat hadis.
[42] Menurut Ibn al-Shalah, Al-Nawawi, dan Nur al-Din ‘Itr menyatakan bahwa ‘illat adalah sebab yang trsembunyi yang merusak kualitas hadis, yang menyebabkan hadis yang pada lahirnya tampak berkualitas shahih menjadi tidak shahih. Lihat, Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hal. 243.
Share on Google Plus

About Fahrullah

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar